Dear Begu : Kamu yang Paling Menyebalkan

Hari ini kuniatkan untuk menyelesaikan content project lomba desain leaflet yang sudah kugantung dari Desember lalu. Masih ingat kan, lomba yang kuceritakan di telepon saat Natal tahun lalu? Deadline sudah dekat, pertengahan bulan ini. Jadi, kukesampingkan kegiatan lain weekend ini demi merampungkannya.
Lewat tengah hari, usai Dzuhur, kupacu motorku menuju cafe dekat Bes Cinema tempat kita pernah nonton berdua dahulu (masih ingat?). Setelah mengantarkan list pesanan, mulai kunyalakan laptop dan mencari referensi untuk content leafletku. Awal aku datang cafe masih sepi. Aku dapat dengan leluasa menggunakan fasilitas wifi yang memang disediakan pengelola cafe bagi pengunjungnya. Namun menjelang sore pengunjung cafe mulai ramai. Page website yang kukunjungi mulai lambat terbuka. Akhirnya kuputuskan rehat sejenak sembari menunggu page terbuka. Ku cek akun instagramku dan juga... akun instagrammu (Iya, aku masih sering mencari tahu tentangmu). Kudapati update info pada insta stories-mu. Biasanya hanya kubuka bila ada foto si Bornok di sana. Kalau yang lainnya, biasanya aku tahan-tahan untuk tidak membukanya (Iya, gengsi ini namanya). Tapi kali ini aku tidak bisa menahan untuk tidak membukanya just because you are in Borobudur now!
Sama siapa? Sejak kapan? Berapa lama? Kenapa bisa di sana? That's just prior questions and now lead me to deep investigation to satisfy big question mark in my head. Berbagai spekulasi bermunculan, seakan ada yang menjejalkannya. Praduga-praduga yang tersusun mengacaukan apa yang telah kuredam sejak berpisah darimu. Apakah yang kupikirkan adalah benar, bahwa kau pergi menemui seseorang yang pernah membuat kita sedikit berselisih paham waktu itu? Someone who is living in Yogyakarta now, dengan dia kah engkau menghabiskan liburanmu? Mengapa tentangmu kini begitu menyakitkan. Padahal dulunya adalah sesuatu yang dapat menyembuhkan.
Ternyata mengikhlaskan bukanlah perkara mudah bagi kami yang dipaksa memadamkan kobar api yang masih teramat besar. Tanpa air untuk mengguyur, tanpa tanah untuk mengubur. Sedangkan hati ini bukanlah hati yang mudah untuk mengosongkan. Terlebih jika apa yang ada di dalamnya adalah apa yang menyamankan. Seperti kamu, misalnya.
Aku tak memiliki cukup alasan untuk membencimu, bila itu memang harus. Sedang aku juga tak cukup besar hati untuk melepaskan hal-hal baik yang seharusnya bisa kupertahankan. Naluri petarungku selalu menempatkanku pada situasi yang enggan melepaskan namun sulit untuk memperjuangkan. Aku masih belum rela bila kamu dimiliki seseorang yang lain. Dan itu menyakitkan hanya untuk memikirkannya, kalau saja kamu tahu.
Dan sekarang aku menyesali fakta bahwa aku masih teramat peduli. Aku terluka bahwa nyatanya aku masih begitu cinta, begitu ingin. Aku berduka hingga tak terpikirkan olehku untuk membuka hati bagi yang lain. Karena aku masih sangat ingin. Ingin kamu, bukan yang lain. Tapi kamu lain, sepertinya hatimu sudah berpilin pada yang lain.
Kepada kamu yang begitu menyebalkan, berbanggalah karena kamu begitu sulit untuk digantikan. Kepada kamu yang begitu sulit dilupakan, berbahagialah bahwa ternyata mudah bagimu untuk melupakan. Kepada kamu yang masih ada di hati, jangan kau paksa aku untuk baik-baik saja dengan ini. Karena menyembunyikan luka cemburu tak semudah menyembunyikan cinta yang ternyata masih untukmu.

Komentar

Postingan Populer