Oak Serat Gantung : PART III
Source : |
Keluarga Kim tergolong keluarga yang mampu.
Setidaknya untuk membayar seorang pengasuh bagi buah hati mereka, mereka dapat
memilih pengasuh terbaik tanpa harus memperhitungkan harga. Namun bukanlah nanny nomor satu yang mereka pilih untuk
7 hari seminggu mengasuh balita mereka. Dialah Ibu Rose. Guru seni honorer di
sekolah tempat Renee belajar. Kubilang, Renee kecil beruntung memiliki Ibu
Rose. Bersamanya Renee kecil belajar banyak hal. Renee kecil buta dan tuli. Tanpa
dua indera itu tentu sulit baginya, barang hanya untuk belajar bicara. Namun
sekali lagi, Renee kecil beruntung memiliki Ibu Rose. Setiap sore Ibu Rose
membawa Renee kecil bertualang di taman terbuka ini. Diajaknya Renee mengenal
alam, keindahan di luar dirinya. Ibu Rose sadar, akan sulit baginya mengajari
Renee dengan metode-metode sekolah formal. Jadi beginilah ia mengajari Renee
kecil. Suatu kali kulihat ia mendudukkan Renee di tepian kolam. Lalu dipandunya
tangan Renee mengayun pelan menyentuh bening air kolam. Renee kecil berjingkat.
Bertanya diam. Lalu lembut ia bisikkan kata “air” di telinga kanan balita
asuhannya itu. Renee mengerjap. Berusaha menghafal. Begitu seterusnya ia ulang
setiap sore hingga Renee terbiasa dengan kata barunya. A-I-R. Akhirnya Renee
kecil terbata mengeja.
Dan lihatlah kini. Wanita ini buta, tuli dan hampir
saja bisu. Namun gelar penulis terkenal telah berhasil disandangnya. Ia
menitipkan surat pagi ini. Kepada Ibu
Rose, Pengasuh Terbaik Sepanjang Masa. Begitu bunyi tulisan pada amplopnya.
Baiklah, aku tak akan nakal mengintip isi surat itu. Tidak untuk kali ini.
Biarlah urusan ini cukuplah menjadi urusan antara mereka berdua. Ah, wanita
pembalas surat itu, Rose Marie, pasti akan berbahagia pekan ini.
***
Sinar mentari merangsek masuk melalui lubang-lubang
rumah kardus keluarga Pong. Pada berkas-berkas sinar yang menampilkan gerakan
Brownian dari partikel kecil debu itu, Pong gantungkan tanda tanya akan
pertanyaan yang terselip pada lembar catatan pelajaran kewarganegaraannya. Tenggang rasa adalah. Bertanya pada guru
sekolah non-formalnya merupakan pilihan paling mungkin yang
kini menjadi jalan paling mustahil. Sekolah libur. Libur panjang akhir masa
perkuliahan datang. Guru berstatus mahasiswanya itu pulang kampung. Rasa
penasaran Pong makin tak tertolong.
***
Petang datang. Pong pulang. Kali ini dengan bus
kota. Persinggahan di tempat kerjaku seperti biasa. Ia duduk berselonjor kaki.
Matanya menerawang pada awan-awan jingga. Peristiwa demi peristiwa sesiang tadi
kembali menggelayut di bayang retina matanya.
Peristiwa pertama. Pertokoan dekat stasiun bawah tanah. Tadi siang.
Pong berjalan menjaja korannya. Panas terik di tengah musim penghujan.
Diputuskannya berhenti, istirahat sejenak. Kawasan rumah toko itu ramai.
Beberapa kali ditatapnya gerombol orang berbaju serba hitam menyeberang. 10
menit beristirahat, ia bangkit berdiri. Kembali menjaja koran. Selang 12 meter
berjalan, bendera hitam berkibar dari sebuah ruko. Engkong pemilik ruko rupanya
baru saja meninggal. Stroke. Hingar tangis keluarga di dalam ruko melebur
dengan bingar suara musik dari warung makan samping ruko. Seingatku bukan begini tenggang rasa yang diajarkan oleh kakak guru.
Gumam Pong.
Peristiwa kedua. Halte bus kota. Senja hari. Pong
kurang sehat hari ini. Ia akan pulang menumpang bus saja. 15 menit sebelum bus pukul 5 lewat, Pong sudah
duduk manis di bawah atap halte. Mereka hanya bertiga. Pong, seorang pria
tukang bangunan, dan seorang lagi adalah wanita karyawan bank. Pria tukang
bangunan tengah asyik memainkan jarinya mengetik pesan singkat. Sedang wanita
karyawan bank acuh memijat tengkuknya yang pegal. 20 menit berlalu. Nampaknya bus terlambat datang. Pria tukang bangunan
berkali-kali mengumpat. Gagal menemui pujaan hatinya tepat waktu. Kesal,
dinyalakannya tembakau linting buatan sendiri. Asap mengepul. Wanita karyawan
bank terbatuk. Tak kuat menghirup asap rokok tanpa filter yang mengepul liar.
Berkali-kali ia menggeser duduk menjauh. Namun tetap ia terbatuk. Si empunya
asap rokok malah terkekeh. Acuh membalas candaan pujaan hatinya lewat SMS. Pong
iba. Diberikannya koran jualannya kepada wanita karyawan bank, berharap dapat
sedikit menghalau asap rokok yang membuat sesak.
Peristiwa ketiga. Bus pukul 5. Perjalanan pulang.
Pong duduk di bangku tengah. Tiga dari belakang. Bus sesak oleh buruh pabrik
yang pulang kerja. Di lampu merah kedua setelah tikungan dekat halte, seorang
wanita paruh baya naik dari pintu depan. Kedua tangannya sibuk membawa barang
dagangan. Bangku bus penuh. Ia harus
berdiri. Bus melaju cepat. Beberapa penumpang mengingatkan akan kondisi jalanan
yang tengah padat. Bus tetap melaju cepat. Beberapa kali rem berdecit mendadak.
Wanita paruh baya limbung kanan kiri. Batita di gendongannya menangis tak
kunjung henti. Pria bertubuh tegap yang duduk di sampingnya berkali-kali mendengus kesal.
Terganggu oleh desakan wanita paruh baya yang limbung kanan kiri. Sedikitpun
tak menaruh iba, acuh ia berpura tidur. Seingatku bukan begini tenggang
rasa yang diajarkan oleh kakak guru.
Gumam Pong.
***
Lampu taman
menyala. Otomatis, setelah LED menangkap intensitas sinar rendah senja. Pong
masih menjalani masa istirahatnya. Duduk berselonjor kaki di tempat kerjaku.
Kali ini ia tak lagi menerawang awan-awan
jingga.
Langit senja. Pong memangku buku usangnya. Pensil tumpul tersemat antara ibu
jari dan telunjuknya. Ia siap. Pong siap menyambut jawab. Menggayuh jawaban
atas tanya besar di dadanya. Di belakang deret kata “Tenggang rasa adalah”
ujung pensilnya bersiap menari. Ia telah cukup banyak tau. Cukup banyak
mengerti dari negeri ini. Tenggang rasa
adalah suatu sikap yang belum banyak dimiliki oleh bangsa ini. Demikian
kalimat itu berakhir.
Aku hanya bisa
ber-ah-oh dari atas sini. Aku telah cukup banyak tau. Cukup banyak mengerti
dari negeri ini. Dari surat tanpa nama yang berlabuh di dahan serta batangku,
aku cukup banyak membaca kisah. Dari cerita manusia di bawah tudung rimbun
daunku, aku cukup banyak memahami kasih. Aku Oak Serat Gantung. Pohon Oak tua
di taman tengah kota. Oak tempat manusia menggantungkan surat tanpa nama
mereka. Pada dahan. Pada cabang ranting. Oak tempat 1001 kisah manusia saling
bicara lewat lembar kertas. Beberapa terbalas. Beberapa dibiarkan tetap
menggantung pada tinggi dahan. Menginpirasi ratusan manusia yang berkunjung
bertahun kemudian. Aku pohon Oak tua di taman tengah kota. Membagi kisah di sela
sahut gesek dedaunan. Gaung kehidupan.
Komentar
Posting Komentar