Oak Serat Gantung : PART III

Source : fineartamerica.com
Pagi pukul 8. Pelanggan pertama. Wanita 20 tahun. Tinggi, kurus, kuning langsat. Renee Kim. Penulis buku inspiratif yang tengah diketuk pintu popularitas. Percayalah 19 tahun lalu tak ada yang berani menggantungkan cita-cita tinggi untuknya. Membenakpun tidak. Ia buta sejak lahir. Ketika umurnya belum juga menjejak bulan kelima, Tuan Kim mendapatkan panggilan kerja di wilayah endemik malaria. Nyonya Kim dan Renee kecil ikut serta bersamanya. Mendekati usia 1 tahun, Renee kecil terserang malaria. Suhu tubuhnya terus naik. Sebagai dokter, Tuan Kim tau betul kemungkinan terburuk apa yang keluarganya harus hadapi. Tidak, beruntung Renee selamat. Namun kesembuhan itu benar-benar harus dibayar mahal. Renee kehilangan pendengarannya di usia teramat dini. Suhu tinggi jauh di atas normal membuat telinga kirinya total tak berfungsi. Sedang telinga kanannya teramat lemah untuk dapat mendengar dengan normal.
Keluarga Kim tergolong keluarga yang mampu. Setidaknya untuk membayar seorang pengasuh bagi buah hati mereka, mereka dapat memilih pengasuh terbaik tanpa harus memperhitungkan harga. Namun bukanlah nanny nomor satu yang mereka pilih untuk 7 hari seminggu mengasuh balita mereka. Dialah Ibu Rose. Guru seni honorer di sekolah tempat Renee belajar. Kubilang, Renee kecil beruntung memiliki Ibu Rose. Bersamanya Renee kecil belajar banyak hal. Renee kecil buta dan tuli. Tanpa dua indera itu tentu sulit baginya, barang hanya untuk belajar bicara. Namun sekali lagi, Renee kecil beruntung memiliki Ibu Rose. Setiap sore Ibu Rose membawa Renee kecil bertualang di taman terbuka ini. Diajaknya Renee mengenal alam, keindahan di luar dirinya. Ibu Rose sadar, akan sulit baginya mengajari Renee dengan metode-metode sekolah formal. Jadi beginilah ia mengajari Renee kecil. Suatu kali kulihat ia mendudukkan Renee di tepian kolam. Lalu dipandunya tangan Renee mengayun pelan menyentuh bening air kolam. Renee kecil berjingkat. Bertanya diam. Lalu lembut ia bisikkan kata “air” di telinga kanan balita asuhannya itu. Renee mengerjap. Berusaha menghafal. Begitu seterusnya ia ulang setiap sore hingga Renee terbiasa dengan kata barunya. A-I-R. Akhirnya Renee kecil terbata mengeja.
Dan lihatlah kini. Wanita ini buta, tuli dan hampir saja bisu. Namun gelar penulis terkenal telah berhasil disandangnya. Ia menitipkan surat pagi ini. Kepada Ibu Rose, Pengasuh Terbaik Sepanjang Masa. Begitu bunyi tulisan pada amplopnya. Baiklah, aku tak akan nakal mengintip isi surat itu. Tidak untuk kali ini. Biarlah urusan ini cukuplah menjadi urusan antara mereka berdua. Ah, wanita pembalas surat itu, Rose Marie, pasti akan berbahagia pekan ini.
***
Sinar mentari merangsek masuk melalui lubang-lubang rumah kardus keluarga Pong. Pada berkas-berkas sinar yang menampilkan gerakan Brownian dari partikel kecil debu itu, Pong gantungkan tanda tanya akan pertanyaan yang terselip pada lembar catatan pelajaran kewarganegaraannya. Tenggang rasa adalah. Bertanya pada guru sekolah non-formalnya merupakan pilihan paling mungkin yang kini menjadi jalan paling mustahil. Sekolah libur. Libur panjang akhir masa perkuliahan datang. Guru berstatus mahasiswanya itu pulang kampung. Rasa penasaran Pong makin tak tertolong.
***
Petang datang. Pong pulang. Kali ini dengan bus kota. Persinggahan di tempat kerjaku seperti biasa. Ia duduk berselonjor kaki. Matanya menerawang pada awan-awan jingga. Peristiwa demi peristiwa sesiang tadi kembali menggelayut di bayang retina matanya.
Peristiwa pertama. Pertokoan dekat stasiun bawah tanah. Tadi siang. Pong berjalan menjaja korannya. Panas terik di tengah musim penghujan. Diputuskannya berhenti, istirahat sejenak. Kawasan rumah toko itu ramai. Beberapa kali ditatapnya gerombol orang berbaju serba hitam menyeberang. 10 menit beristirahat, ia bangkit berdiri. Kembali menjaja koran. Selang 12 meter berjalan, bendera hitam berkibar dari sebuah ruko. Engkong pemilik ruko rupanya baru saja meninggal. Stroke. Hingar tangis keluarga di dalam ruko melebur dengan bingar suara musik dari warung makan samping ruko. Seingatku bukan begini tenggang rasa yang diajarkan oleh kakak guru. Gumam Pong.
Peristiwa kedua. Halte bus kota. Senja hari. Pong kurang sehat hari ini. Ia akan pulang menumpang bus saja. 15 menit sebelum bus pukul 5 lewat, Pong sudah duduk manis di bawah atap halte. Mereka hanya bertiga. Pong, seorang pria tukang bangunan, dan seorang lagi adalah wanita karyawan bank. Pria tukang bangunan tengah asyik memainkan jarinya mengetik pesan singkat. Sedang wanita karyawan bank acuh memijat tengkuknya yang pegal. 20 menit berlalu. Nampaknya bus terlambat datang. Pria tukang bangunan berkali-kali mengumpat. Gagal menemui pujaan hatinya tepat waktu. Kesal, dinyalakannya tembakau linting buatan sendiri. Asap mengepul. Wanita karyawan bank terbatuk. Tak kuat menghirup asap rokok tanpa filter yang mengepul liar. Berkali-kali ia menggeser duduk menjauh. Namun tetap ia terbatuk. Si empunya asap rokok malah terkekeh. Acuh membalas candaan pujaan hatinya lewat SMS. Pong iba. Diberikannya koran jualannya kepada wanita karyawan bank, berharap dapat sedikit menghalau asap rokok yang membuat sesak.
Peristiwa ketiga. Bus pukul 5. Perjalanan pulang. Pong duduk di bangku tengah. Tiga dari belakang. Bus sesak oleh buruh pabrik yang pulang kerja. Di lampu merah kedua setelah tikungan dekat halte, seorang wanita paruh baya naik dari pintu depan. Kedua tangannya sibuk membawa barang dagangan. Bangku bus penuh. Ia harus berdiri. Bus melaju cepat. Beberapa penumpang mengingatkan akan kondisi jalanan yang tengah padat. Bus tetap melaju cepat. Beberapa kali rem berdecit mendadak. Wanita paruh baya limbung kanan kiri. Batita di gendongannya menangis tak kunjung henti. Pria bertubuh tegap yang duduk di sampingnya berkali-kali mendengus kesal. Terganggu oleh desakan wanita paruh baya yang limbung kanan kiri. Sedikitpun tak menaruh iba, acuh ia berpura tidur. Seingatku bukan begini tenggang rasa yang diajarkan oleh kakak guru. Gumam Pong.
***
Lampu taman menyala. Otomatis, setelah LED menangkap intensitas sinar rendah senja. Pong masih menjalani masa istirahatnya. Duduk berselonjor kaki di tempat kerjaku. Kali ini ia tak lagi menerawang awan-awan jingga. Langit senja. Pong memangku buku usangnya. Pensil tumpul tersemat antara ibu jari dan telunjuknya. Ia siap. Pong siap menyambut jawab. Menggayuh jawaban atas tanya besar di dadanya. Di belakang deret kata “Tenggang rasa adalah” ujung pensilnya bersiap menari. Ia telah cukup banyak tau. Cukup banyak mengerti dari negeri ini. Tenggang rasa adalah suatu sikap yang belum banyak dimiliki oleh bangsa ini. Demikian kalimat itu berakhir.

Aku hanya bisa ber-ah-oh dari atas sini. Aku telah cukup banyak tau. Cukup banyak mengerti dari negeri ini. Dari surat tanpa nama yang berlabuh di dahan serta batangku, aku cukup banyak membaca kisah. Dari cerita manusia di bawah tudung rimbun daunku, aku cukup banyak memahami kasih. Aku Oak Serat Gantung. Pohon Oak tua di taman tengah kota. Oak tempat manusia menggantungkan surat tanpa nama mereka. Pada dahan. Pada cabang ranting. Oak tempat 1001 kisah manusia saling bicara lewat lembar kertas. Beberapa terbalas. Beberapa dibiarkan tetap menggantung pada tinggi dahan. Menginpirasi ratusan manusia yang berkunjung bertahun kemudian. Aku pohon Oak tua di taman tengah kota. Membagi kisah di sela sahut gesek dedaunan. Gaung kehidupan.

Komentar

Postingan Populer