Oak Serat Gantung : PART II
Source : |
Petir menggelegar. Hujan rintik mulai tumpah.
Seketika suasana mistis terbentuk. Kucukupkan kegiatan membacaku. Ah, siapa
pula yang sudi menyelesaikan membaca surat perkara pembunuhan di malam berhujan
dengan petir menyambar-nyambar seperti ini. Omong-omong, kuterima surat itu
tadi sore. Tanpa nama. Sang pengirim juga tak terlihat jelas. Bermantel tebal
dan bertopi menutup setengah muka. Bukan wewenangku menanyai identitasnya.
Tugasku hanya sebatas menerima, menyimpan 24 jam, dan menyerahkannya pada
petugas pembalas surat yang akan mengambilnya setiap pagi pukul 5. Mereka, para
pembalas surat, berjumlah 4. Bersaudara. Tinggal di rumah sederhana di seberang
sana. Memperoleh uang dari pengirim yang puas akan balasan surat dari mereka.
Surat yang harus mereka balas beragam. Mulai dari perkara paling umum : jatuh
cinta, putus cinta, mendua, bertepuk sebelah tangan, menjanda, menduda, dsb.
Hingga perkara tak lumrah seperti surat perkara operasi plastik dan pembunuhan
yang baru saja membuatku bergidik semenit lalu.
Malam pukul 7. Jalanan mendadak lengang oleh hujan
deras yang tumpah ruah. Gelap mengungkung kota. Pria paruh baya yang berteduh
sejak rintik air langit turun masih bertahan di bawah sana. Melawan hawa dingin
serta kantuk dengan sigaret yang mengepul lewat satu hisapan. Ia tak sendiri.
Di sampingnya tertidur bocah usia berbilang tujuh dengan tumpukan koran dalam
dekapan. Pong namanya. Penjaja koran di stasiun bawah tanah 3 km arah utara
sana. Rumahnya perkampungan kumuh berjarak 2 km dari sini. Tempat kerjaku menjadi
stasiun peristirahatan dalam 5 km perjalanannya pulang ke rumah. Terkadang ia
naik bus kota. Terkadang menumpang truk. Namun lebih sering ia berjalan kaki.
Pagi ia mengikuti sekolah non-formal prakarsa
mahasiswa kuliah malam yang mengasah kepekaannya akan masalah sosial sembari
mengisi jam-jam kosong pagi mereka. Pong siswa kelas satu di sekolah non-formalnya. Selalu bersemangat. Selalu menjadi yang
pertama bertanya dan menjawab. Pong yang gigih tak kenal putus asa.
***
Aku menatap heran pada tumpukan surat tanpa nama di
ruang kerjaku. Tak percaya. Nampaknya dunia makin edan. Bagaimana tidak, dari 4
surat yang kuambil acak hari ini, kesemuanya berinti sama. Tentang obsesi
manusia. Kesempurnaan. Kecantikan. Surat pertama kurang lebih soal remaja dan obsesinya
untuk selalu tampil cantik. Demi urusan selalu cantik itu ia tak pernah
menghapus make up di wajahnya hingga 6 tahun. 6 tahun ia hidup dengan make up
yang makin menumpuk tebal saban harinya. Tumpukan make up itu tak ayal mengerak
di kulitnya. Bahan kimia memaksa kulit wajahnya menua sebelum waktunya.
Keriput. Belum lagi diagnosa dokter akan kanker kulit yang kemungkinan
menyerangnya. Menyesal ia.
Surat kedua, ketiga dan keempat kurang lebih serupa.
Tentang obsesi gadis penggila boneka simbol kecantikan yang rela kehilangan
telinganya dan menggantinya dengan telinga berbentuk runcing, menyerupai elf.
Kini ia tuna rungu dan menyesal. Juga tentang wanita model yang rela memotong
habis jari telunjuk kakinya demi kenyamanan memakai stiletto untuk terlihat
sempurna. Juga tentang pengaduan orang tua yang terpukul akan obsesi anak
gadisnya untuk menjadi cantik hingga kecanduan memborong produk kecantikan di
toko online dengan uang kuliahnya. Malu akan kebohongan yang dibuatnya kepada
orang tuanya, ia memutuskan loncat dari asrama 5 lantai tempat tinggalnya.
Aku mendadak mual. Edan, mereka benar-benar edan.
Pikirku. Sore ini mendung masih menggelayut.
***
Udara lembab. Sisa-sisa hujan yang mengguyur kota
sedari pagi. Dari arah utara, Pong yang masih menggendong tas karung goninya
berjalan terhuyung membopong tumpukan koran sisa jualan. Kali ini ia datang
lebih cepat dari biasanya. Langkah riang seperti hari-hari lalu. Namun air
mukanya terlihat murung. Seakan terpengaruh oleh mendung yang terus
mengungkung. Ia duduk beristirahat. Dari atas sini aku bisa melihat baju dan
tubuhnya yang kuyup. Sisa kekejaman tumpahan hujan yang menggelontor tanpa
tebang pilih. Koran yang mati-matian ia jaga agar tetap kering pun tak luput
dari desau mesiu air hujan yang menghujam. Tangannya gemetar. Bibirnya ungu bergetar.
Ah, andai ada selimut yang bisa kulingkarkan untuk menghangatkan. Aku hanya
bisa ber-ah dari atas sini.
Tangan legam Pong merogoh ke dalam tas goninya. Ia
keluarkan buku tanpa sampul yang terlipat sana sini. Buku itu basah. Tak
terbaca di beberapa bagian. Tintanya luntur. Halaman yang ia tulisi tadi pagi
turut basah. Itu perihal kewarganegaraan, pelajaran yang selalu membuatnya
bertanya. Hanya kalimat terpotong “tenggang rasa adalah” yang luput dari
rangsek air hujan yang menelan tulisan tangannya. Potongan kalimat yang
menyisakan tanya besar di dadanya.
Komentar
Posting Komentar