Oak Serat Gantung : PART I
Source : |
***
Aku
tak sabar. Tetabuhan yang membuka upacara sepuluhtahunan ini 7 detik lalu usai.
Aku tak sabar untuk segera meneriakkan puja-puji untuknya. 10 tahun penantian
dan belasan bulan perjalanan kaki. Ah, lama sekali Tetua Gode kampung itu
bercakap. Mulanya urusan kesejahteraan rakyat, lalu beralih pada urusan maling
ayam, semenit kemudian berbicara soal patung pualam miliknya, lalu kembali pada
urusan maling ayam. Bosan bercakap urusan ayam, tetua itu beralih soal wanita.
Cukup menarik, setidaknya bila dibandingkan dengan obrolan perkara ayam. Aku
tak mengerti benar apa yang diucapkannya. Kudengar sebentar-sebentar tetua
paling tua itu menyebut kata operasi plastik, lalu lanjut mengoceh dengan
bahasa Rantek. Aku berani bertaruh lebih dari 80 % penduduk di sini tak
mengerti kicaunya soal perkara operasi plastik ini. Bahasa Rantek memang bahasa
kuno yang hanya populer di kalangan para tetua dan sesepuh, sehingga tak heran
bila hanya para tetua dan sesepuh yang terlihat manggut-manggut mengerti. Namun
jelas dari ekspresinya, apapun perkara operasi plastik itu, Tetua Gode Nampak
tak senang. Setelah enam kali aku mengganti posisi duduk, bosan, Tetua Gode
akhirnya sadar diri dan menghentikan kicauannya. Ah, ayolah. Cepat mainkan
musiknya. Do re mi do la do si. Ah, apalah itu aku tak tau. Ah, kumohon mainkan
apapun untuk memulainya. Setelah ber-ah untuk kesebelas kalinya, akhirnya ia
dalam semburat yang teratur muncul. Bagai gasing yang diputar, gadis-gadis itu
berpilin, berputar meliuk memenuhi panggung. Orang-orang di barisan depan
bersorak mengangkat tangan, berjingkrak. Satu dua orang berdiri memberi tepuk
tangan. Sial. Pandanganku terhalang oleh orang-orang itu. Merasa tak strategis
lagi, aku beralih tempat. Kupilih untuk pindah ke tempat dimana tak ada
orang-orang yang menghalangiku, di depan barisan para tetua dan sesepuh. Kulihat
dari anak mata, para renta itu mulai bersungut terhalang oleh badan tinggi
besarku. Hah, peduli apa dengan mereka, pikirku. Mereka tak lama lagi juga akan
meregang nyawa dan mendapatkan tarian khusus untuk mereka. Toh, mengingat umur
mereka yang ratusan, sudah barang tentu mereka acap kali menikmati tarian ini.
Satu dua mungkin juga sudah bosan, kulihat beberapa mulai menguap. Jadi santai
saja aku berdiri di sini. Mematung. Memuji pesonanya. Pesona serangkaian
gerakan harmonis yang menggetarkan. Sesekali lembut membelai, kemudian berubah
tegas menggertak. Indah. Bagian yang paling kusuka sebentar lagi akan mengambil
alih panggung. Jemari lentik itu mulai menuntun pandangan ke atas menuju
kepala. Lalu sepenuhnya wajah dengan ekspresi menggodanya mulai menguasai
panggung. Menghipnotis penonton, dan juga aku, untuk sejenak berhenti bernapas
menanti ekspresi-ekspresi lain yang kini tengah bersembunyi. Seperti sepuluh
tahun lalu, kutelusuri gurat-gurat wajah tiap-tiap gadis penari, mencari
keindahan di masing-masing wajah itu. Bahagia mengungkungku ketika kuselesaikan
bagian yang paling kusuka pada penari pertama. Namun bagai anak panah yang
melesat cepat terlepas dari busurnya, bahagia itu cepat sekali terenggut paksa.
Bagaimana tidak, dari penari pertama, kedua, ketiga, keempat, lalu seterusnya
hingga penari terakhir, yang kudapat hanyalah sebuah keindahan. Satu keindahan
saja untuk 10 tahun penantian dan belasan bulan perjalanan kaki. Amarah
mengungkungku malam ini. Amarah atas belasan wajah-wajah serupa di atas sana.
***
Akhirnya
aku mendatanginya. Aku tak kuasa melawan emosi-emosi ganjil yang belakangan
muncul tak terkendali dari dalam diriku. Ini hari ketujuh semenjak pertama kali
aku melihat belasan wajah serupa yang meliuk di atas panggung malam itu. Dan
jujur kukatakan, amarah masih mengungkungku hingga kini. Putus asa akan harapan
keindahan yang hanya segelintir kudapatkan, hanya sebuah malah, kuketuk pelan pintu
kayu bercat putih itu. Satu kali, tak ada jawaban. Dua kali, tetap tak ada
sahutan. Tiga kali, hening. Ah, ayolah. Hanya dokter ini satu-satunya yang
kuharapkan dapat membawa angin segar bagi permasalahan ini. Empat kali, kali
ini dengan lebih keras, akhirnya terdengar derap langkah mendekat. Selang satu
menit kemudian aku telah duduk berhadapan di ruang kerjanya. Puluhan gadis muda
maupun para renta rela mengantre belasan jam tiap harinya hanya untuk mengecap
masuk ke dalam ruangan ini dan keluar dengan wajah baru. Hidung mancung. Dagu
runcing. Mata besar. Kaki jenjang. Wajah-wajah yang sama. Takut emosi ganjil
itu kembali mengungkung, cepat-cepat kuutarakan perihal kedatanganku. Ia
terkejut. Menggeleng. Sudah 7 tahun ia membuka praktik layanan operasi plastik
dan sejauh ini semua baik-baik saja. Begitu alasannya. Oh, hilang sudah harapan
akan keindahan-keindahan yang semakin membayang jauh dari pelupuk mata. Sia-sia
sudah 10 tahun penantian dan belasan bulan perjalanan kaki serta malam-malam
panjang dan helaan napas resah. Putus asa. Lemah kucabut benda berisi
selongsong timah itu dari balik punggungku. Kutarik pelatuknya dan dalam
hitungan ketiga, dor! Kuakhiri
semuanya.
***
Dengung
mesin cuci memenuhi ruangan. Beban terlalu berat yang ada di dalamnya membuat
mesin cuci itu berguncang hebat. Tanganku yang bertumpu padanya turut bergetar.
Baju kerjaku bersembur merah. Sama seperti warna cairan di dalam mesin cuci yang
bercampur dengan air sabun berbusa. Seketika aku merasa begitu ringan. Seolah
beban dalam malam-malam panjangku selama ini terangkat sudah. Kulihat dari
bingkai jendela yang terbuka musim semi begitu indah. Bayangan akan istirahat
akhir pekan dengan menyeduh teh panas di halaman belakang sekelebat muncul.
“Oh,
hai Finn. Kau di sini rupanya. Bisakah kau membantuku mengantar pasien di
depan. Kau tahu, antrean panjang sekali dan Dokter Deryl tak kunjung datang.
Aneh sekali. Dan, oh ya, apakah kau bertemu Dokter hari ini?”
Perawat pria berpakaian sama denganku datang
mengagetkan. Diam, aku tak menjawab.
“Finn, apakah kau baik-baik saja? Kau tidak terlihat
sehat. Oh, astaga. Finn? Apakah itu darah, merah-merah yang ada di bajumu?”
Demi Tuhan, kali ini dialah yang akan balik
terkaget. Tak lama lagi, pasti. Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku menghitung dalam
hati. Empat detik. Hanya butuh empat detik baginya untuk menyadari apa atau
siapa yang sekarang tengah berputar di dalam mesin cuci di hadapanku. Bersama
lumur darah. Bau anyir dan busa. Pistol tak berpeluru, karna satu-satunya
peluru miliknya telah menembus dada Dokter itu. Pria berpendidikan mumpuni yang
menolak bertanggung jawab atas kekacauan yang dibuatnya. Bagaimana tidak,
cobalah menilik pada kontes kecantikan negara ini, lihat finalisnya, lihat
foto-fotonya. Tidakkah kau melihat wajah-wajah yang selintas sama di sana.
“Oh, demi Tuhan Finn. Apa yang telah kau perbuat?”
Aku diam, membiarkannya menerka-nerka. Kulihat
dari bingkai jendela yang terbuka musim semi begitu indah. Bayangan akan
istirahat akhir pekan dengan menyeduh teh panas di halaman belakang sekelebat
muncul.
Komentar
Posting Komentar