Oak Serat Gantung : PART I

Source : fineartamerica.com
Gelontor air surga tepat berhenti ketika untuk kedua kalinya aku menjejak kaki di tanah ini. Tubuh dan bekalku kuyup. Gagal menghindari tumpahan gentong surga yang bocor tak kuasa menahan massa. Hujan seharian mengguyur Lembah Rakata. Berhenti 5 menit, kembali tumpah berjam-jam kemudian. Begitu seterusnya mulai dari sepertiga perjalananku dari seberang lembah, hingga kini berada selangkah di belakang gapura selamat datang. Aku menatap lamat sepotong kayu bertulis yang menggantung rapuh pada bingkai gapura. Sedikit miring. Namun tulisannya masih sama, tentu saja. Otakku mencoba menarik potongan-potongan puzzle masa mudaku di tempat ini. Oh, sempurna. Semuanya sama benar, tak secuilpun berubah. Warna-warni yang sama, lobus osksipitalisku melapor. Irama genderang yang sama. Liuk-liuk seruling yang sama. Petikan-petikan kecapi yang sama. Sempurna sama, begitupun lobus temporalisku turut melapor. Aroma rerumputan lembah yang sama. Bau liat tanah yang sama. Harum bebungaan yang-tak sama. Menghilang, syaraf indera pembauku terlambat melapor. Aku diam. Hei, dimana bebungaan lembah yang tersemat di pagar-pagar itu? Merah, kuning, ungu. Dimana pula juntai hijau janur yang melambai di pancang-pancang tali penggatung lampion warna-warni itu? Merah, kuning, ungu. Berubah. Pagarnya berubah. Tanpa hias bunga lagi. Pagarnya merah, kuning, ungu terlapisi cat. Nampak baru seminggu kering. Ah, modernisasi mulai merambah tanah surga ini.
***
            Aku tak sabar. Tetabuhan yang membuka upacara sepuluhtahunan ini 7 detik lalu usai. Aku tak sabar untuk segera meneriakkan puja-puji untuknya. 10 tahun penantian dan belasan bulan perjalanan kaki. Ah, lama sekali Tetua Gode kampung itu bercakap. Mulanya urusan kesejahteraan rakyat, lalu beralih pada urusan maling ayam, semenit kemudian berbicara soal patung pualam miliknya, lalu kembali pada urusan maling ayam. Bosan bercakap urusan ayam, tetua itu beralih soal wanita. Cukup menarik, setidaknya bila dibandingkan dengan obrolan perkara ayam. Aku tak mengerti benar apa yang diucapkannya. Kudengar sebentar-sebentar tetua paling tua itu menyebut kata operasi plastik, lalu lanjut mengoceh dengan bahasa Rantek. Aku berani bertaruh lebih dari 80 % penduduk di sini tak mengerti kicaunya soal perkara operasi plastik ini. Bahasa Rantek memang bahasa kuno yang hanya populer di kalangan para tetua dan sesepuh, sehingga tak heran bila hanya para tetua dan sesepuh yang terlihat manggut-manggut mengerti. Namun jelas dari ekspresinya, apapun perkara operasi plastik itu, Tetua Gode Nampak tak senang. Setelah enam kali aku mengganti posisi duduk, bosan, Tetua Gode akhirnya sadar diri dan menghentikan kicauannya. Ah, ayolah. Cepat mainkan musiknya. Do re mi do la do si. Ah, apalah itu aku tak tau. Ah, kumohon mainkan apapun untuk memulainya. Setelah ber-ah untuk kesebelas kalinya, akhirnya ia dalam semburat yang teratur muncul. Bagai gasing yang diputar, gadis-gadis itu berpilin, berputar meliuk memenuhi panggung. Orang-orang di barisan depan bersorak mengangkat tangan, berjingkrak. Satu dua orang berdiri memberi tepuk tangan. Sial. Pandanganku terhalang oleh orang-orang itu. Merasa tak strategis lagi, aku beralih tempat. Kupilih untuk pindah ke tempat dimana tak ada orang-orang yang menghalangiku, di depan barisan para tetua dan sesepuh. Kulihat dari anak mata, para renta itu mulai bersungut terhalang oleh badan tinggi besarku. Hah, peduli apa dengan mereka, pikirku. Mereka tak lama lagi juga akan meregang nyawa dan mendapatkan tarian khusus untuk mereka. Toh, mengingat umur mereka yang ratusan, sudah barang tentu mereka acap kali menikmati tarian ini. Satu dua mungkin juga sudah bosan, kulihat beberapa mulai menguap. Jadi santai saja aku berdiri di sini. Mematung. Memuji pesonanya. Pesona serangkaian gerakan harmonis yang menggetarkan. Sesekali lembut membelai, kemudian berubah tegas menggertak. Indah. Bagian yang paling kusuka sebentar lagi akan mengambil alih panggung. Jemari lentik itu mulai menuntun pandangan ke atas menuju kepala. Lalu sepenuhnya wajah dengan ekspresi menggodanya mulai menguasai panggung. Menghipnotis penonton, dan juga aku, untuk sejenak berhenti bernapas menanti ekspresi-ekspresi lain yang kini tengah bersembunyi. Seperti sepuluh tahun lalu, kutelusuri gurat-gurat wajah tiap-tiap gadis penari, mencari keindahan di masing-masing wajah itu. Bahagia mengungkungku ketika kuselesaikan bagian yang paling kusuka pada penari pertama. Namun bagai anak panah yang melesat cepat terlepas dari busurnya, bahagia itu cepat sekali terenggut paksa. Bagaimana tidak, dari penari pertama, kedua, ketiga, keempat, lalu seterusnya hingga penari terakhir, yang kudapat hanyalah sebuah keindahan. Satu keindahan saja untuk 10 tahun penantian dan belasan bulan perjalanan kaki. Amarah mengungkungku malam ini. Amarah atas belasan wajah-wajah serupa di atas sana.
***
            Akhirnya aku mendatanginya. Aku tak kuasa melawan emosi-emosi ganjil yang belakangan muncul tak terkendali dari dalam diriku. Ini hari ketujuh semenjak pertama kali aku melihat belasan wajah serupa yang meliuk di atas panggung malam itu. Dan jujur kukatakan, amarah masih mengungkungku hingga kini. Putus asa akan harapan keindahan yang hanya segelintir kudapatkan, hanya sebuah malah, kuketuk pelan pintu kayu bercat putih itu. Satu kali, tak ada jawaban. Dua kali, tetap tak ada sahutan. Tiga kali, hening. Ah, ayolah. Hanya dokter ini satu-satunya yang kuharapkan dapat membawa angin segar bagi permasalahan ini. Empat kali, kali ini dengan lebih keras, akhirnya terdengar derap langkah mendekat. Selang satu menit kemudian aku telah duduk berhadapan di ruang kerjanya. Puluhan gadis muda maupun para renta rela mengantre belasan jam tiap harinya hanya untuk mengecap masuk ke dalam ruangan ini dan keluar dengan wajah baru. Hidung mancung. Dagu runcing. Mata besar. Kaki jenjang. Wajah-wajah yang sama. Takut emosi ganjil itu kembali mengungkung, cepat-cepat kuutarakan perihal kedatanganku. Ia terkejut. Menggeleng. Sudah 7 tahun ia membuka praktik layanan operasi plastik dan sejauh ini semua baik-baik saja. Begitu alasannya. Oh, hilang sudah harapan akan keindahan-keindahan yang semakin membayang jauh dari pelupuk mata. Sia-sia sudah 10 tahun penantian dan belasan bulan perjalanan kaki serta malam-malam panjang dan helaan napas resah. Putus asa. Lemah kucabut benda berisi selongsong timah itu dari balik punggungku. Kutarik pelatuknya dan dalam hitungan ketiga, dor! Kuakhiri semuanya.
***
            Dengung mesin cuci memenuhi ruangan. Beban terlalu berat yang ada di dalamnya membuat mesin cuci itu berguncang hebat. Tanganku yang bertumpu padanya turut bergetar. Baju kerjaku bersembur merah. Sama seperti warna cairan di dalam mesin cuci yang bercampur dengan air sabun berbusa. Seketika aku merasa begitu ringan. Seolah beban dalam malam-malam panjangku selama ini terangkat sudah. Kulihat dari bingkai jendela yang terbuka musim semi begitu indah. Bayangan akan istirahat akhir pekan dengan menyeduh teh panas di halaman belakang sekelebat muncul.
            “Oh, hai Finn. Kau di sini rupanya. Bisakah kau membantuku mengantar pasien di depan. Kau tahu, antrean panjang sekali dan Dokter Deryl tak kunjung datang. Aneh sekali. Dan, oh ya, apakah kau bertemu Dokter hari ini?”
Perawat pria berpakaian sama denganku datang mengagetkan. Diam, aku tak menjawab.
“Finn, apakah kau baik-baik saja? Kau tidak terlihat sehat. Oh, astaga. Finn? Apakah itu darah, merah-merah yang ada di bajumu?”
Demi Tuhan, kali ini dialah yang akan balik terkaget. Tak lama lagi, pasti. Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku menghitung dalam hati. Empat detik. Hanya butuh empat detik baginya untuk menyadari apa atau siapa yang sekarang tengah berputar di dalam mesin cuci di hadapanku. Bersama lumur darah. Bau anyir dan busa. Pistol tak berpeluru, karna satu-satunya peluru miliknya telah menembus dada Dokter itu. Pria berpendidikan mumpuni yang menolak bertanggung jawab atas kekacauan yang dibuatnya. Bagaimana tidak, cobalah menilik pada kontes kecantikan negara ini, lihat finalisnya, lihat foto-fotonya. Tidakkah kau melihat wajah-wajah yang selintas sama di sana.
“Oh, demi Tuhan Finn. Apa yang telah kau perbuat?”
Aku diam, membiarkannya menerka-nerka. Kulihat dari bingkai jendela yang terbuka musim semi begitu indah. Bayangan akan istirahat akhir pekan dengan menyeduh teh panas di halaman belakang sekelebat muncul.

Komentar

Postingan Populer